Selasa, 22 Mei 2012

pelayaran cina ke indonesia



Kumpulan Gambar Klenteng, Lithang, tempat-tempat ibadah dan Upacara Keagamaan Tao dan Konghucu






Suatu Perbandingan, Lao Tzu dan Konfusius


Semua orang di dunia ini memiliki potensi untuk menjadi bijak. Ungkapan ini merupakan ungkapan yang sangat ditekankan oleh Lao Tzu dan Konfusius. Ungkapan ini juga merupakan tujuan bagi para pengikut mereka dalam menggeluti dan menanamkan di dalam diri ajaran jalan kehidupan Lao Tzu dan Konfusius. Dengan menjadi bijak dapat diandaikan bahwa Lao Tzu dan Konfusius menekankan keinginan manusia untuk menjadi baik. Dua aliran ini sama-sama memberikan jalan untuk menjadi manusia yang baik dan bijaksana. Jalan yang harus mereka lewati merupakan jalan yang menolak kekerasan dan perang karena memang dilihat dari latar belakang berdirinya, mereka ingin membentuk kehidupan yang sama sekali jauh dari perang. Juga, dasar nilai yang ditanamkan oleh Lao Tzu dan Konfusius merupakan dasar nilai yang menjunjung tinggi kebaikan, kesetiaan, dan kedalaman hati.

Dalam perkembangan peradaban Cina, aliran Lao Tzu dan Konfusius berkembang dengan pesat dan menjadi dasar tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dikatakan bahwa budaya dan tradisi Cina dapat berkembang karena peranan dua aliran ini. Jalan yang dikembangkan ini diakui dan dipercaya dapat memberikan keselamatan hidup. Lebih lagi, kedua aliran ini yang dibentuk oleh Lao Tzu dan Konfusius, memiliki dasar yang sangat berbeda, walaupun lahir dalam masa yang sama, yaitu di masa negara-negara berperang. Perbedaan ini oleh penulis akan lebih ditajamkan dengan membaginya menjadi empat kategori, yaitu perbedaan latar belakang, sifat-sifat ajarannya, cara bertindaknya, dan tujuan yang ingin dicapai ketika mendalami ajaran-ajaran tersebut.

Latar belakang ternyata juga menjadi perbedaan mendasar yang membuat Lao Tzu dan Konfusius amat terkenal dan diterima dalam masyarakat. Mereka lahir dan berkembang dalam dua situasi yang berbeda walaupun berada hampir dalam satu masa, yaitu masa negara-negara berperang. Aliran yang masing-masing dikembangkan merupakan suatu usaha solutif dari apa yang mereka alami semasa kecil dan dewasa, tentunya dengan analisa dan refleksi masing-masing soal manusia dan negara pada waktu itu. Lao Tzu diperkirakan lebih tua dari Konfusius, namun ajaran Lao Tzu merupakan tandingan ketika ajaran Konfusius berjaya.

Lao Tzu berasal dari Ch’u atau Ch’ien, suatu daerah yang berada di selatan Sungai Huang He. Ch’u merupakan daerah yang kecil dan tertekan oleh peperangan sehingga perkembangan kebudayaannya menjadi tidak terlalu kuat. Ia sendiri bekerja di perpustakaan buku-buku dan surat-surat kuno dan berharga di mana ia harus bersikap diam dan teliti. Hal ini membuatnya senang hidup menyendiri dan menyepi. Pengalaman hidup menyendiri di tempat kerja membuatnya menemukan jalan Tao. Juga, pengetahuan akan masa lampau menjadi bertambah setelah membaca dokumen-dokumen dan surat-surat kuno dan bersejarah. Maka tidaklah disangkal bila Lao Tzu dengan jalan Tao-nya mengajak manusia untuk bersikap melawan dan mengritik pemerintah dan menolak adanya suatu institusi yang sangat birokratif. Hal ini mungkin saja pengaruh dari masa kecilnya yang selalu dikelilingi suasana peperangan. Solusi dari rasa tertekannya adalah bersikap diam dan menyepi.

Sedangkan Konfusius adalah sebaliknya. Ia mengajak manusia untuk bersikap baik dan bekerja keras untuk ikut berpartisipasi bersama pemerintah. Ia juga mengajak manusia untuk menghormati leluhur. Konfusius lahir dan berkembang di negara Lu, suatu daerah yang berada di sebelah utara Sungai Huang He. Daerah ini merupakan daerah yang kuat dalam perekonomian dan pertahanan. Selain itu, ia juga berasal dari klan yang makmur dan sejahtera. Ia memang berkembang dalam situasi yang kuat sehingga tak heran ajarannya bertujuan mengajak manusia untuk mampu berjuang di dunia yang penuh liku dengan kecerdasan di bidang moral, tradisi, dan kebudayaan.

Dengan latar belakang lingkungan dan keluarga (klan) yang seperti disebutkan di atas, kita akui bahwa ada perbedaan di antara yang lemah dan yang kuat yang sama-sama memberikan solusi yang positif, ajaran Lao Tzu dan Konfusius. Dari yang kuat dan lemah tersebut dapat diketahui juga sifat-sifat ajarannya. Lao Tzu dalam jalan Tao mengajak pengikutnya untuk tidak bertindak dalam menghadapi segala sesuatu dengan pikirannya sendiri, melainkan menjadikan segala sesuatu tersebut selaras dengan alam. Kedamaian pikiran dan kelembutan jiwa merupakan usaha yang harus diperjuangkan. Maka tidak heran bila Taoisme memiliki sifat personal, tenang, lembut, selaras, dan bijaksana. Ajaran jalan Tao mengajak manusia untuk selalu selaras dengan alam. Maksudnya agar manusia tersebut mendapatkan transformasi ataupun pengetahuan lewat keselarasan tersebut dan bukan dengan mengolah dalam pikiran perbuatan baik dan buruk yang harus dilakukan. Tak ada unsur paksaan dalam melakukan cara bertindak Tao ini. Sifat-sifat seperti ini bertolak belakang dengan konfusianisme. Ajaran Konfusius bisa dikatakan sangat aktif, energik, sopan, maskulin, dan ditujukan untuk semua, yaitu negara, diri sendiri, leluhur dan orang tua. Dalam konfusianisme setiap orang wajib melakukan sesuatu demi yang baik. Mereka dituntut untuk ahli dalam hal moral dan mampu dengan baik beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, terutama terhadap yang lebih tua. Maka pendidikan adalah hal yang penting dalam konfusianisme. Pendidikan ditujukan agar dalam bersikap dan berpikir mereka menjadi lebih sopan, cerdas, berbudi, dan bermoral. Kebenaran bagi konfusianis adalah sesuatu yang rasional dan berdasarkan tradisi.

Perbedaan selanjutnya adalah mengenai cara bertindak mereka. Yang satu, Lao Tzu, adalah wu wei dan yang lain, Konfusius, bertindak aktif. Ini suatu perbedaan antara yang pasif dan yang aktif. Dalam menanggapi pemerintah atau negara, Lao Tzu bersikap melawan dan menghindar terhadap institusi pemerintah yang berbelit-belit dan tidak jujur. Ia menyarankan agar pemerintah juga selaras dengan alam. Sedangkan Konfusius mengajurkan untuk bertindak membenahi pemerintah yang berbelit-belit dan tidak jujur tersebut. Dalam hal tradisi, Lao Tzu mengajak untuk menolak berbagai perayaan yang dibuat-buat dan mahal. Ia juga menolak adanya instrumen musik. Dengan wu wei ini, para Taois dapat benar-benar bersatu dengan alam tanpa memperhitungkan baik buruknya karena memang dengan bersatu atau selaras dengan alam adalah perbuatan baik yang akan menghasilkan manusia yang bermutu. Prinsip hidup wu wei tidak memerlukan berbagai pertimbangan. Saedangkan, konfusianisme mengartikannya berbeda. Konfusianisme menuntut adanya partisipasi bersama dengan pemerintah. Tindakan selaras dengan pemerintahan adalah tindakan yang didasari oleh prinsip-prinsip moral yang rasional. Tindakan ini menjunjung kemanusiaan dan demi kebutuhan dan kebahagiaan masyarakat secara keseluruhan. Konfusius menambahkan bahwa dengan bertindak secara bermoral dan demi kemanusiaan, seorang pribadi dapat menjadi mulia dan agung. Kebahagiaan akan selalu menjadi bagian dirinya. Prinsip seperti ini juga ditujukan dalam tradisi. Konfusius sangat menekankan manusia untuk menghormati orang tua dan leluhur. Dengan menghormati mereka, tindakan-tindakan manusia akan selalu diberkati dan akan menghasilkan kebahagiaan. Maka kekuatan tradisi dengan perayaan besar dengan musik yang meriah adalah perlu.

Perbedaan yang terakhir adalah mengenai tujuan yang ingin dicapai. Lao Tzu sangatlah menekankan manusia untuk dapat bersatu dengan alam dalam seluruh masa hidupnya. Tao manusia dan Tao alam harus bersatu untuk menciptakan hubungan yang harmonis. Untuk itu, kehidupan ideal menurut Lao Tzu adalah yang sederhana dan harmonis. Maksudnya adalah kehidupan yang terang, tanpa pamrih, meninggalkan kecerdikan, mengurangi egoisme, dan mematikan hasrat. Bagi Konfusius, tujuan hidup manusia adalah bersatu dengan langit (Tian) dan kebahagiaan. Kebahagiaan manusia menjadi kunci utamanya. Maka tidak heran perayaan besar dengan musik yang meriah menjadi mungkin karena disitulah para konfusianis melatih emosi dan hasrat dan kemudian menemukan kebahagiaan. Kehidupan ideal adalah hidup yang baik dan sejahtera dan itu muncul dari manusia dan bukan alam.

Dari berbagai perbedaan di atas dapat dikatakan bahwa Taoisme memang lebih berkonsentrasi pada manusia dan ketenangan jiwanya. Sedangkan Konfusianisme menekankan keteraturan sosial dan kehidupan yang aktif. Kedua aliran ini dikatakan saling bertolak belakang dan karenanya Taoisme disebut suatu kritik terhadap Konfusianisme.

Sejarah Organisasi Tionghoa


A.        Jaman Hindia-Belanda
Pada jaman Hindia Belanda yaitu sekitar tahun 1800-an, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan dan pertambangan-pertambangan di tanah air, terutama di Pulau Jawa yang merupakan akibat berkembangnya kapitalisme dan liberalisme di Eropa maka didatangkanlah secara besar-besaran tenaga-tenaga kerja dari daratan Tiongkok.[1]
Hal ini dimungkinkan karena pada tahun 1860, pemerintah Kerajaan Tiongkok (dinasti Qing) mengeluarkan maklumat yang memberikan ijin orang-orang Tionghoa yang ingin merantau meninggalkan daratan Tiongkok. Padahal sejak tahun 1717 semua orang Tionghoa yang berada di perantauan dipanggil kembali untuk pulang ke Tiongkok dan pada tahun 1726, seluruh imigran yang belum pulang dilarang untuk kembali ke Tiongkok. Baru pada tahun 1898 pemerintah Kerajaan Tiongkok dengan resmi mencabut larangan para imigran Tionghoa yang ingin kembali ke Tiongkok, walaupun sebelumnya telah banyak orang Tionghoa yang pulang ke kampung halamannya. Puncak migrasi orang-orang Tionghoa ke Hindia Belanda adalah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sampai menjelang Perang Dunia ke II.[2]
Pelaksanaan politik etis[3] dirasakan oleh masyarakat Tionghoa tidak adil, oleh karena tidak menyentuh kelompok mereka. Selain itu dengan timbulnya gerakan pembaruan di Tiongkok telah memberikan dorongan dan kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan perlunya pendidikan, persatuan dan adanya organisasi yang dapat mengangkat kehidupan mereka. Pada saat bersamaan di Asia berkembang gerakan Tiongkok Raya (Pan China) yang pengaruhnya mengimbas ke Hindia Belanda. Pada tanggal 17 Maret 1900, di Batavia atas prakarsa beberapa orang-orang peranakan Tionghoa, berdiri sebuah perkumpulan Tionghoa yang bernama Tiong Hoa Hwe Koan yang mendirikan sekolah-sekolah modern berbahasa Tionghoa  (Tiong Hoa Hak Tong) di seluruh Hindia Belanda. Maka mulai saat itu dimulailah masa yang disebut masa kebangkitan etnis Tionghoa di Hindia Belanda, yang kelak akan memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan nasional Indonesia.[4]
Organisasi-organisasi politik yang dibentuk ethnis Tionghoa, masing-masing memiliki perbedaan aliran. Pertama yang berorientasi ke Tiongkok, kedua yang berorientasi ke Hindia Belanda, dan ketiga yang berorientasi ke Indonesia. Organisasi yang berorientasi ke Tiongkok adalah Tiong Hoa Hwee Koan – Rumah Perkumpulan Tionghoa – (”THHK”, 1900), Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908). Organisasi ini didukung oleh orang Tionghoa Totok, yang baru datang ke Indonesia sekitar akhir abad ke 19 s/d awal abad ke 20. Organisasi yang berorientasi ke Hindia Belanda adalah Chung Hwa Hui yang didirikan pada tahun 1920. Para pendirinya adalah orang Tionghoa Peranakan yang berpendidikan Belanda, yang sudah beberapa generasi tinggal di Indonesia. Karena terlalu "kebelanda-belandaan", organisasi ini akhirnya terpecah dua. Yang tidak setuju kemudian mendirikan partai politik yang pro-lndonesia, yaitu Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932.[5]
THHK yang didirikan pada tahun 1900 oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa di Batavia (Jakarta) merupakan organisasi pertama yang memperkenalkan dan menyebar-luaskan penggunaan istilah Tionghoa (menurut dialek Hokkian) atau Chung Hua (menurut dialek  Mandarin) untuk masyarakat Tionghoa di kawasan Hindia Belanda. Oleh karena bahan-bahan pelajaran diambil dari Tiongkok, masyarakat Tionghoa yang berhubungan dengan THHK, termasuk generasi mudanya, terdorong untuk berkiblat ke Tiongkok dan mengenal, bahkan mendukung, nasionalisme Tiongkok.[6] Namun dalam perjalanannya pengaruh THHK dalam kalangan peranakan Tionghoa berangsur berkurang pada tahun 1930-an, karena program pendidikannya dianggap kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Tionghoa di zaman penjajahan. Pengaruh dan perannya boleh dikatakan hilang setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945. Walaupun  demikian, ia telah meninggalkan sebuah warisan sejarah, yaitu identitas ke-Tionghoaan Indonesia, yang oleh sebuah organisasi massa besar di zaman yang berbeda, dianggap sebagai bagian penting dari bangsa Indonesia.[7]
Dalam perkembangannya etnis Tionghoa di Hindia Belanda terbagi menjadi tiga:[8]
1.    Yang pro Belanda mendirikan Chung Hwa Hui dengan corongnya Harian Perniagaan (Siang Po).
2.    Yang Pro Tiongkok dipimpin Harian Sin Po.
3.    Yang Pro Kemerdekaan terhimpun di Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di bawah pimpinan Liem Koen Hian dengan corongnya Harian Sin Tit Po.  
Situasi ini terus bertahan sampai datangnya masa  pendudukan Jepang pada tahun 1942. Pada masa inilah dimulai penggunaan peyorasi[9] “Cina” dalam memaki-maki etnis Tionghoa yang dituduh menjadi agen dan kaki-tangan NICA sebagai usaha menghina dan merendahkan martabat dan harga diri etnis Tionghoa. Padahal sebutan Cina yang mengacu kepada “Cina kunciran” telah lama ditinggalkan kalangan etnis Tionghoa, yaitu sejak berdirinya THHK pada tahun 1900 dan Republik Tiongkok (Chung Hua Ming Kuo) pada tahun 1911.
B.           Pasca Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, terjadi perubahan politik di Indonesia yang otomatis mengubah pula orientasi politik orang Tionghoa saat itu. Pada tahun 1948, Thio Thiam Tjong mendirikan Partai Persatuan Tionghoa (PT). Partai ini didominasi oleh beberapa tokoh peranakan yang juga memimpin Sin Ming Hui (Persatuan Sinar Baru) yang dibentuk pada tahun 1946 di Jakarta.[10] Kemudian pada tahun 1950, tidak lama setelah RIS dibentuk, para pemimpin PT mengganti nama organisasinya menjadi Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Salah satu kelemahan dari partai ini adalah persepsi orang akan kesungguhan para pemimpinnya dalam mendukung Republik Indonesia. Pada akhir tahun 1953, para pemimpin PDTI mengambil keputusan untuk membentuk suatu panitia guna membahas masalah rancangan undang-undang kewarganegaraan Indonesia. PDTI mengundang semua pengacara Tionghoa yang aktif baik di PDTI maupun di Sin Ming Hui untuk membentuk panitia ini, di antaranya Yap Thiam Hien, Auwyang Peng Koen, Liem Koen Seng, dan Gouw Giok Song.[11]
Salah satu organisasi Tionghoa terkenal yang lahir pada masa ini adalah Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki yang didirikan pada tahun 1954 merupakan organisasi sosial politik yang dapat diterima oleh berbagai kalangan orang Tionghoa, baik Totok maupun Peranakan. Masalah yang dihadapi para tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan (Siauw) pada masa itu adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang.[12]
            Baperki ikut serta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua Pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 suara untuk DPR dan 160.456 suara untuk Konstituante, atau 70% suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukan Siauw sebagai wakilnya. Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien (Yap), Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave, C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo.[13]

            Setelah Kongres Baperki di Semarang pada bulan Desember 1960, Yap meninggalkan Baperki. Keluarnya Yap dipengaruhi perdebatan perbedaan pandangan antara Yap dengan Siauw salah satunya adalah mengenai pasal 6  Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945 sebelum amandemen), yang menurut Yap pasal tersebut sangat diskriminatif, namun Siauw dan yang lainnya di Baperki mencoba meredam masalah tersebut dengan mengeyampingkan masalah tersebut. Perbedaan pandangan lainnya antara dua tokoh tersebut adalah mengenai bagaimana integrasi seharusnya dilaksanakan.[14] Sejarah membuktikan pendapat Yap yang benar, karena pasal 6 tersebut telah diamandemen dalam era reformasi.

            Yap tidak setuju dengan gagasan pendukung asimilasi yang menganjurkan supaya kaum peranakan mengganti namanya dengan Indonesia asli. Menurut Yap penggantian nama itu bernada paksaan dan pada akhirnya tidak akan mencapai tujuan asimilasi. Asimilasi kedalam kelompok yang dominan oleh kelompok minoritas tidak mungkin dapat tercapai jika hanya kelompok minoritas yang menginginkan hal tersebut sedangkan kelompok yang dominan menolaknya.[15] Menurut Yap, hak semua orang dari suku apa saja untuk diakui dan dihormati identitasnya (amalgamasi). Orang atau golongan tidak boleh dihilangkan (secara harfiah atau kiasan) karena kurang disukai golongan lain dengan alasan apa pun. Penghapusan perbedaan antara mayoritas dengan minoritas adalah dengan integrasi, penerimaan semua golongan di Indonesia dengan penilaian yang sama sebagai manusia dan warga negara, tanpa melihat perbedaan ras, kebudayaan atau agama.[16] Setelah tragedi 30 September 1965, Baperki dibubarkan oleh Orde Baru karena dituduh sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia. Sejumlah aktivisnya, seperti Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili.[17]
Perbedaan fundamental antara Baperki dan THHK terletak pada program kerjanya. THHK, seperti banyak organisasi Tionghoa lainnya, menitikberatkan program pendidikan dan sosial. Sedangkan Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan politik dalam mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan.[18]
Melihat pada fakta diatas, organisasi sosial-politik Tionghoa tidak ada satupun yang dapat bertahan lama. Selain akibat benturan dengan kebijakan politik pemerintah yang berkuasa pada masanya, satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah selalu terjadi perpecahan di dalam organisasi sosial-politik yang dibentuk orang Tionghoa. Kenyataan ini yang perlu disadari oleh semua orang Tionghoa.[19]

C.           Masa Orde Baru
Pada masa ini, rezim Orde Baru mempraktekan kembali politik devide et impera hasil bentukan pemerintahan Kolonial Belanda dengan menciptakan pengkotak-kotakan dalam kehidupan bangsa Indonesia, misalnya perbedaan antara Jawa dan non Jawa, muslim dan non muslim, militer dan sipil, mayoritas dan minoritas, pribumi dan non pribumi, Indonesia Barat dan Indonesia Timur, dan seterusnya. Untuk mendiskriminasikan etnis Tionghoa di Indonesia rezim Orde Baru menggunakan hukum sebagai alatnya. Secara sistematis dan konsisten, rejim Orde Baru telah membatasi, menekan dan menghancurkan hak-hak politik etnis Tionghoa dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang sangat mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia menjadi a politis sehingga tidak ada lagi representasi efektif etnis Tionghoa di pemerintahan maupun badan legislatif pada waktu itu. Apalagi hal ini didukung oleh ABRI cq. Angkatan Darat yang dalam kampanye anti komunis telah menyamakan etnis Tionghoa sebagai kelompok yang cenderung atau bersimpati terhadap komunisme.[20]

Selain itu selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa diisolasi dari kegiatan politik. Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang berindikasi G30S/PKI termasuk tokoh, anggota dan simpatisan Baperki dan organisasi-organisasi Tionghoa lainnya, telah menimbulkan trauma yang berkepanjangan di kalangan masyarakat Tionghoa.[21]

Timbulnya tragedi Mei 1998 membangkitkan kesadaran etnis Tionghoa bahwa selama ini mereka secara politis mereka tidak berdaya sama sekali.  Ini terbukti setelah jatuhnya rezim Orde Baru, berbagai kelompok peranakan Tionghoa segera membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sebagainya, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (“PARTI”), Partai Bhineka Tunggal Ika (“PBI”), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (“PSMTI”), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (“INTI”), Solidaritas Nusa Bangsa (“SNB”), Gerakan Anti Diskriminasi (“GANDI”), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk Keadilan (“SIMPATIK”) dan sebagainya. Namun dalam perjalanannya karena banyak menghadapi kendala, semangat yang pada mulanya mengebu-gebu perlahan-lahan mulai menyurut. Di samping itu seperti juga yang terjadi pada partai-partai politik dan organisasi nasional lainnya, perpecahan telah menjadi mode yang menimpa partai-partai politik dan organisasi-organisasi di kalangan etnis Tionghoa.[22] Tiga dari sekian banyak organisasi dan partai politik bentukan etnis Tionghoa yang masih bertahan hingga saat ini adalah INTI, PSMTI dan PARTI.

Pada masa Orde Baru ini, etnis Tionghoa selalu berusaha menghindari wilayah politik, seolah-olah politik adalah sesuatu yang menakutkan. Memang oleh rezim Orde Baru, peluang etnis Tionghoa untuk terjun ke wilayah politik sangat dibatasi. Oleh karena itu mereka tidak menyadari bahwa tanpa turut berpartisipasi di wilayah politik, sebesar apapun kekuatan mereka di bidang ekonomi, akan dengan mudah dibuat tidak berdaya.


D.        Organisasi Tionghoa Dalam Era Reformasi

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (“UUK 2006”) Republik Indonesia yang dikeluarkan pada era reformasi ini semakin memperjelas status etnis Tionghoa dalam kebangsaan Indonesia. Lewat UUK 2006, etnis Tionghoa diakui sebagai pribadi yang berkebangsaan Indonesia tanpa memandang suku maupun etnisitasnya. Melalui UUK 2006, kemajemukan bangsa Indonesia dihargai dan bahkan diakui oleh pemerintah sebagai ciri yang utama.

Namun demikian, apakah UUK 2006 dapat dengan serta merta menyelesaikan permasalahan kewarganegaraan di Indonesia? Jawabannya tentu saja tidak, oleh karena masalah kewarganegaraan adalah permasalahan yang sangat kompleks sehingga penyelesaiannya pun membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Masih perlu dibentuk peraturan pelaksana dari UUK 2006 tersebut. Selain itu, perlu juga dilakukan sosialisasi di tingkat birokrasi dan masyarakat, oleh karena birokrasi cenderung bersifat korup dan masyarakat cenderung apatis dan menghalalkan segala cara agar setiap urusan yang berkaitan dengan birokrasi dapat diselesaikan dengan cepat dan mudah. Hal ini merupakan hambatan yang cukup serius untuk mengatasi masalah kewarganegaraan (khususnya etnis Tionghoa) di Indonesia.

Pasca reformasi 1998, Mely Tan mencatat beberapa sikap politis kaum Tionghoa dalam menghadapi masalah kewarganegaraan, antara lain:[23]
1.         Sebagian besar akan tetap bekerja dengan tenang, acuh tak acuh, tanpa partisipasi politis apapun, kecuali hanya berharap dan berdoa agar keluarganya tidak diganggu.
2.         Sebagian yang lain menolak sikap pasrah. Mereka beranggapan bahwa keturunan Tionghoa sama seperti warga negara yang lain harus aktif berpartisipasi langsung dalam politik dan ikut mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan terutama di lembaga legislatif.
3.         Kelompok ketiga adalah mereka yang merasa lebih membutuhkan kelompok pendukung yang disebut “paguyuban” demi saling menopang diantara teman senasib.
4.         Kelompok keempat yaitu mereka yang bergabung dengan atau memberi suara kepada parpol yang sudah ada, ataupun yang baru dibentuk yang akan memperjuangkan kepentingan mereka.

Etnis Tionghoa yang memilih untuk bergabung demi memperjuangkan kepentingan mereka pada akhirnya kembali mengaktifkan kegiatan mereka dalam organisasi Tionghoa yang telah “mati suri” akibat tekanan dari rezim orde baru. Selama 32 tahun Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru, kegiatan dan perkembangan dari organisasi Tionghoa relatif terhenti, tidak terdapat kegiatan sosial, pembangunan sekolah, rumah ibadah dengan motivasi sosial praktis tidak nampak. Setelah reformasi 1998, pemerintah memberikan peluang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk  berserikat dan menyatakan pendapat. Peluang ini ternyata dimanfaatkan dengan baik oleh warga negara Indonesia, oleh karena dewasa ini dapat dilihat adanya puluhan partai politik dan ribuan organisasi kemasyarakatan dengan berbagai tujuan dan aktifitasnya.

Peluang ini pun dimanfaatkan oleh etnis Tionghoa di Indonesia yang dengan segera mendeklarasikan pendirian organisasi Tionghoa, antara lain PARTI, PBI, SNB, SIMPATIK, GANDI, PSMTI dan INTI. Sejalan dengan itu, berbagai penerbitan seperti harian, tabloid dan majalah, antara lain Naga Pos, Glodok Standard, Suar, Nurani, Sinergi, Suara Baru serta sejumlah lainnya bermunculan. Dewasa ini, organisasi Tionghoa memiliki fungsi yang berbeda-beda, diantaranya:[24]
1.            Partai politik seperti Partai Reformasi Tionghoa, dan Partai Bhinneka Indonesia yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan baik eksekutif (pemerintah), maupun legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat).
2.            Organisasi yang berdasarkan kebangsaan, organisasi ini mempunyai tujuan, aspirasi kebangsaan, terbuka untuk semua suku Warga Negara Indonesia.
3.            Organisasi yang berdasarkan ikatan sebagai suku Tionghoa yang merasa senasib dan sepenanggungan, ingin memperjuangkan nasib sebagai orang Tionghoa Bangsa Indonesia (PSMTI).
4.            Organisasi yang berdasarkan kesamaan sub etnis (Hakka, Hokian, Konghu dan lain-lain), marga (Lim, Tan, Oey dan lain-lain), asal kampung (Meizou, Taipu, Nan An dan lain-lain). Organisasi ini bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya sesuai ikatan tersebut.
5.            Organisasi yang berdasarkan kesamaan agama (Matakin, Walubi, Paguyuban Tao Indonesia dan lain lain), tujuan organisasi ini adalah untuk peningkatan penghayatan keagamaan umatnya masing-masing.
6.            Organisasi berdasarkan kesamaan alumni sekolah dengan tujuan biasanya memperhatikan guru-guru yang sudah tua, penyiapan beasiswa, membangun sekolah dan kegiatan lain yang berkaitan dengan pendidikan.
7.            Organisasi yang berdasarkan kesamaan kegiatan seperti, bantuan bencana alam, perkumpulan paduan suara, olahraga, penggemar lukisan, pelawatan, kedukaan, pendidikan, dan lain-lain.

E.           Berkembangnya perekonomian Republik Rakyat Tiongkok (“RRT“) dan semakin eratnya hubungan persahabatan Pemerintah RI dan RRT.

Dengan liberalisasi perekonomiannya, lompatan besar RRT terbukti berhasil hanya dalam tempo sekitar tiga dasawarsa. Pertumbuhan ekonominya kini tercatat paling tinggi di dunia, ditambah surplus perdagangan yang luar biasa. Investasi asing mengalir deras. Dengan rakyat sekitar 1,3 miliar atau 20% dari penduduk dunia, ditambah ongkos tenaga kerja yang murah, RRT merupakan pasar yang sangat menggiurkan. China is the hottest business and investment story on the planet, demikian majalah Time dalam suatu artikelnya dua tahun lalu. Ungkapan tersebut kini semakin nyata.[25] Peningkatan pertumbuhan ekonomi RRT pada akhirnya mempengaruhi tatanan ekonomi global. Menurut Biro Statistik RRT pada 19 April 2007, di triwulan pertama 2007 ekonomi RRT tumbuh 11,1 %, dengan cadangan devisa mencapai 1.2 trilliun dollar AS.[26] Selain itu surplus perdagangan RRT pada bulan Mei 2007 mencapai 22,45 miliar dolar AS, atau naik 73 % dibanding tahun sebelumnya dan tertinggi kedua setelah surplus pada bulan Februari yang mencapai 23,7 miliar dolar AS.[27]

Melihat perkembangan ekonomi RRT, maka wajar negara-negara di Asia berlomba melakukan kerja sama dengan RRT, tidak terkecuali Indonesia. Hubungan Indonesia-RRT sudah dimulai berabad-abad yang lalu. Hubungan di antara kedua negara mengalami pasang surut akibat perbedaan politik kedua negara. Khusus mengenai hubungan dagang antara Indonesia dan RRT, pernah tidak ada hubungan langsung. Perdagangan dijalankan melalui Hongkong. Setelah RRT membuka diri dalam perdagangan internasional dan RRT tidak menutup diri sebagai negara Tirai Bambu lagi, berangsur-angsur terjadi perdagangan terbuka dan langsung.[28]

            Hubungan Indonesia dengan RRT mencapai momentum melalui penandatanganan Joint Declaration between the Republic of Indonesia and the People’s Republic of China on Strategic Partnership oleh kedua Kepala Negara pada tanggal 25 April 2005 di Jakarta. Pada tahun tersebut juga bertepatan dengan ulang tahun ke-55 hubungan diplomatik kedua negara yang dijalin sejak 13 April 1950. Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis RI-RRT meliputi berbagai kerjasama di sektor-sektor politik dan keamanan, ekonomi dan pembangunan, sosial budaya dan lain-lain.  Selama ini, berbagai macam kegiatan telah diupayakan sebagai bentuk tindak lanjut dari Deklarasi tersebut.  Salah satunya adalah Mekanisme Dialog Tingkat Menko-State Councilor, yang pertama diselenggarakan pada bulan September 2006. Dalam pertemuan Dialog dimaksud, telah dibahas berbagai isu terkait dengan hubungan bilateral Indonesia dengan RRT dari sudut pandang makro dan strategis.  Selain itu, telah pula disepakati untuk segera membentuk Plan of Action (PoA)  sebagai acuan dalam mengimplementasikan Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis RI-RRT, yang akan dikoordinasikan oleh kementerian luar negeri kedua negara.[29]

            Selama tahun-tahun terakhir ini, kerjasama perdagangan RRT dan Indonesia mengalami peningkatan. Menurut Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu, nilai perdagangan Indonesia dan Tiongkok tahun lalu mencapai 15 miliar dolar AS, pemimpin kedua negara sudah mencapai kesepakatan untuk meningkatkan nilai perdagangan kedua negara sampai 30 miliar dolar AS pada tahun 2010.[30]

            Timbulnya RRT sebagai suatu negara yang mempunyai kekuatan ekonomi yang kuat dan menjadi salah satu negara ”super power”, tentunya akan membawa keuntungan bagi para pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan Pemerintah RRT. Kondisi tersebut dapat menjadi semacam suatu ”godaan” bagi organisasi Tionghoa di Indonesia untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Pemerintah RRT, bahkan yang lebih dikhawatirkan apabila faham organisasi Tionghoa yang selama ini berfaham kebangsaan sebagai Bangsa Indonesia mulai pupus.[31]
Ada beberapa hal yang patut dicermati etnis Tionghoa khususnya organisasi Tionghoa, diantaranya adalah kebijakan RRT dalam mendukung kepentingan nasional negaranya, dan sikap etnis Tionghoa dalam merespon kondisi baik saat ini.[32] RRT dikatakan sedang menjalani kebijakan soft power, yaitu menggunakan pendekatan ekonomi dan budaya dalam berhubungan dengan negara lain untuk melayani kepentingan nasionalnya sendiri. Termasuk di dalamnya konsekuensi kebijakan untuk menjalin politik bertetangga dan bersahabat baik dengan semua negara di dunia. Hal ini juga mempengaruhi kebijakannya terhadap warga Overseas Chinese,[33] yaitu warga keturunan Tiongkok yang tersebar dan menetap di negara-negara lain di seluruh dunia, dimana Tiongkok menganjurkan kepada warga Overseas Chinese untuk menjadi warga negara yang baik di negara masing-masing yang taat hukum, memajukan pendidikan, membangun ekonomi, membawa harmonisasi sosial masyarakat dan diharapkan menjadi jembatan antara Tiongkok dengan negara masing-masing.[34]
Bila kita melihat sejenak ke masa lalu, hal ini juga pernah diterapkan Perdana Menteri Chou En Lai saat penandatanganan penyelesaian masalah dwikewarganegaraan tahun 1955 di Indonesia. Baru 6 tahun semenjak kemerdekaannya, Tiongkok berada dalam situasi terdesak karena tidak banyak negara yang mau mengakui keberadaannya. Sebelumnya karena Tiongkok menerapkan azas ius sanguinis kepada semua warga negaranya -dimana siapapun yang mempunyai ikatan nenek moyang dengan warga Tiongkok di seluruh dunia diakui sebagai warga negara Tiongkok- banyak negara yang curiga bahwa warga negara keturunan Tiongkok yang tinggal di negara-negara lain akan dijadikan kaki tangan demi kepentingan luar negeri Tiongkok. Sehubungan dengan munculnya negara-negara di Asia yang merdeka setelah perang dunia kedua, dimana sistem ketatanegaraan dan politiknya masih mengikuti pola negara penjajah, maka kedudukan Overseas Chinese di negara-negara Asia Tenggara praktis bermasalah. Termasuk di Indonesia.
            Dalam hal ini organisasi Tionghoa, seyogianya tetap menunjukkan sikap nasionalismenya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia dengan tidak mengurangi kecintaannya kepada Tanah Air Indonesia dan mengusahakan hidup harmonis dengan segenap rakyat Indonesia dalam usaha bersama meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chou En Lai, yang pada tahun 1955 menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RRT. Chou En Lai dalam musyawarah dengan wakil-wakil peranakan Tionghoa di Jakarta pada tahun 1955, menganjurkan supaya Huakiao mentaati segala ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan mengusahakan hidup harmonis dengan segenap rakyat Indonesia dalam usaha bersama meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia. [35]
F.         Peranan Organisasi Tionghoa Dalam Menghadapi Globalisasi
Kata globalisasi diambil dari kata ”global”, yang maknanya ialah universal. Globalisasi adalah konsep yang bersifat multidimensi, dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Namun pada intinya, globalisasi dimaknai dalam pengertian hilangnya batas-batas negara, atau menurut Kenichi Ohmae disebut sebagai borderless world. Globalisasi memungkinkan umat manusia yang berasal dari berbagai negara dengan kebangsaan yang berbeda dapat saling berhubungan satu sama lain dengan intensitas dan kedekatan yang tinggi (highly intensity and close proximity), baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dunia dalam rangka globalisasi dilihat sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh atau universal, tanpa memperdulikan perbedaan-perbedaan yang melekat pada diri manusia sebagai kesatuan yang terbagi-bagi berdasarkan jenis kulit (race), suku (ethnic) dan kebangsaan (nation).[36] Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia:[37]
1.            Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
2.            Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
3.            Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengkonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
4.            Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.

Dengan hilangnya batas negara dan adanya WTO dimana Indonesia adalah salah satu anggota dari WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994. WTO didirikan dengan salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi dan menghapus halangan-halangan yang dapat menghambat kelancaran arus perdagangan barang dan jasa, terlebih dengan gencarnya perdagangan bebas, liberalisasi perdagangan, atau perdagangan global, maka batasan-batasan mengenai pengusaha asing dan lokal semakin kabur karena hilangnya batas-batas negara. Namun sangat disayangkan pada apa yang masih terjadi di Indonesia saat ini dimana masih terdapat pembedaan-pembedaan terhadap latar belakang pelaku usaha walaupun UUK 2006 sudah menghapus adanya istilah-istilah pembedaan ini dengan merubah perspektif “bangsa Indonesia asli” yang dahulu lebih berperspektif etnik telah beralih kepada perspektif yuridis. Hal ini terlihat dari masih digunakannya istilah pengusaha pribumi dan pengusaha non pribumi oleh pihak-pihak tertentu, yang mana salah satunya diucapkan oleh wakil presiden RI, Jusuf Kalla dalam suatu pertemuan bilateral.[38] Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pola pikir yang mendiskriminasi dari sebagian orang.
Melihat kejadian tersebut, disini diperlukan peran organisasi Tionghoa untuk membimbing anggotanya tetap setia kepada Republik Indonesia dan tidak silau dengan kesuksesan RRT. Selain itu organisasi Tionghoa dalam masa reformasi dan menghadapi globalisasi tidak boleh “kebablasan” dalam mengartikan kebebasan. Menghormati budaya leluhur dan menerapkan budaya serta bahasa Tionghoa bukan merupakan hal yang salah. Akan tetapi sebagai Warga Negara Indonesia, etnis Tionghoa dan khususnya organisasi Tionghoa tetap harus menjunjung nilai-nilai yang ada di Indonesia, seperti menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Dengan cara ini, maka etnis Tionghoa tidak akan di”cap” menuntut “keistimewaan” seperti yang pernah diungkapkan mantan Menteri Kehakiman dan HAM, dan mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra pada saat ditanya pendapatnya mengenai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), "Karena itu kepada siapa pun termasuk mereka keturunan Cina ditanya, kenapa mereka keberatan, orang pribumi saja ditanya, masak mereka ngga mau ditanya,".