A. Jaman Hindia-Belanda
Pada jaman Hindia Belanda
yaitu sekitar tahun 1800-an, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di
perkebunan-perkebunan dan pertambangan-pertambangan di tanah air, terutama di
Pulau Jawa yang merupakan akibat berkembangnya kapitalisme dan liberalisme di
Eropa maka didatangkanlah secara besar-besaran tenaga-tenaga kerja dari daratan
Tiongkok.[1]
Hal ini dimungkinkan
karena pada tahun 1860, pemerintah Kerajaan Tiongkok (dinasti Qing)
mengeluarkan maklumat yang memberikan ijin orang-orang Tionghoa yang ingin
merantau meninggalkan daratan Tiongkok. Padahal sejak tahun 1717 semua orang
Tionghoa yang berada di perantauan dipanggil kembali untuk pulang ke Tiongkok
dan pada tahun 1726, seluruh imigran yang belum pulang dilarang untuk kembali
ke Tiongkok. Baru pada tahun 1898 pemerintah Kerajaan Tiongkok dengan resmi
mencabut larangan para imigran Tionghoa yang ingin kembali ke Tiongkok,
walaupun sebelumnya telah banyak orang Tionghoa yang pulang ke kampung
halamannya. Puncak migrasi orang-orang Tionghoa ke Hindia Belanda adalah pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sampai menjelang Perang Dunia ke II.[2]
Pelaksanaan politik etis[3]
dirasakan oleh masyarakat Tionghoa tidak adil, oleh karena tidak menyentuh
kelompok mereka. Selain itu dengan timbulnya gerakan pembaruan di Tiongkok
telah memberikan dorongan dan kesadaran di kalangan masyarakat Tionghoa akan
perlunya pendidikan, persatuan dan adanya organisasi yang dapat mengangkat
kehidupan mereka. Pada saat bersamaan di Asia berkembang gerakan Tiongkok Raya
(Pan China) yang pengaruhnya mengimbas ke Hindia Belanda. Pada tanggal 17 Maret
1900, di Batavia atas prakarsa beberapa orang-orang peranakan Tionghoa, berdiri
sebuah perkumpulan Tionghoa yang bernama Tiong Hoa Hwe Koan yang mendirikan
sekolah-sekolah modern berbahasa Tionghoa (Tiong Hoa Hak Tong) di seluruh
Hindia Belanda. Maka mulai saat itu dimulailah masa yang disebut masa
kebangkitan etnis Tionghoa di Hindia Belanda, yang kelak akan memberikan
pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan nasional Indonesia.[4]
Organisasi-organisasi
politik yang dibentuk ethnis Tionghoa, masing-masing memiliki perbedaan aliran.
Pertama yang berorientasi ke Tiongkok, kedua yang berorientasi ke Hindia
Belanda, dan ketiga yang berorientasi ke Indonesia. Organisasi yang
berorientasi ke Tiongkok adalah Tiong Hoa Hwee Koan – Rumah Perkumpulan
Tionghoa – (”THHK”, 1900), Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908). Organisasi
ini didukung oleh orang Tionghoa Totok, yang baru datang ke Indonesia sekitar
akhir abad ke 19 s/d awal abad ke 20. Organisasi yang berorientasi ke Hindia
Belanda adalah Chung Hwa Hui yang didirikan pada tahun 1920. Para pendirinya
adalah orang Tionghoa Peranakan yang berpendidikan Belanda, yang sudah beberapa
generasi tinggal di Indonesia. Karena terlalu "kebelanda-belandaan",
organisasi ini akhirnya terpecah dua. Yang tidak setuju kemudian mendirikan
partai politik yang pro-lndonesia, yaitu Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada
tahun 1932.[5]
THHK yang didirikan pada tahun 1900
oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa di Batavia (Jakarta) merupakan
organisasi pertama yang memperkenalkan dan menyebar-luaskan penggunaan istilah
Tionghoa (menurut dialek Hokkian) atau Chung Hua (menurut dialek
Mandarin) untuk masyarakat Tionghoa di kawasan Hindia Belanda. Oleh karena
bahan-bahan pelajaran diambil dari Tiongkok, masyarakat Tionghoa yang
berhubungan dengan THHK, termasuk generasi mudanya, terdorong untuk berkiblat
ke Tiongkok dan mengenal, bahkan mendukung, nasionalisme Tiongkok.[6] Namun dalam perjalanannya pengaruh THHK
dalam kalangan peranakan Tionghoa berangsur berkurang pada tahun 1930-an,
karena program pendidikannya dianggap kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Tionghoa di zaman penjajahan. Pengaruh dan perannya boleh dikatakan hilang
setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945. Walaupun
demikian, ia telah meninggalkan sebuah warisan sejarah, yaitu identitas
ke-Tionghoaan Indonesia, yang oleh sebuah organisasi massa besar di zaman yang
berbeda, dianggap sebagai bagian penting dari bangsa Indonesia.[7]
Dalam perkembangannya etnis Tionghoa
di Hindia Belanda terbagi menjadi tiga:[8]
1. Yang pro Belanda mendirikan Chung Hwa
Hui dengan corongnya Harian Perniagaan (Siang Po).
2. Yang Pro Tiongkok dipimpin Harian Sin
Po.
3. Yang Pro Kemerdekaan terhimpun di
Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di bawah pimpinan Liem Koen Hian dengan
corongnya Harian Sin Tit Po.
Situasi ini terus bertahan
sampai datangnya masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Pada masa inilah
dimulai penggunaan peyorasi[9]
“Cina” dalam memaki-maki etnis Tionghoa yang dituduh menjadi agen dan
kaki-tangan NICA sebagai usaha menghina dan merendahkan martabat dan harga diri
etnis Tionghoa. Padahal sebutan Cina yang mengacu kepada “Cina kunciran” telah
lama ditinggalkan kalangan etnis Tionghoa, yaitu sejak berdirinya THHK pada tahun
1900 dan Republik Tiongkok (Chung Hua Ming Kuo) pada tahun 1911.
B.
Pasca Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, terjadi perubahan
politik di Indonesia yang otomatis mengubah pula orientasi politik orang
Tionghoa saat itu. Pada tahun 1948, Thio Thiam Tjong mendirikan Partai
Persatuan Tionghoa (PT). Partai ini didominasi oleh beberapa tokoh peranakan
yang juga memimpin Sin Ming Hui (Persatuan Sinar Baru) yang dibentuk pada tahun
1946 di Jakarta.[10] Kemudian pada tahun 1950, tidak lama
setelah RIS dibentuk, para pemimpin PT mengganti nama organisasinya menjadi
Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Salah satu kelemahan dari partai ini
adalah persepsi orang akan kesungguhan para pemimpinnya dalam mendukung
Republik Indonesia. Pada akhir tahun 1953, para pemimpin PDTI mengambil
keputusan untuk membentuk suatu panitia guna membahas masalah rancangan
undang-undang kewarganegaraan Indonesia. PDTI mengundang semua pengacara
Tionghoa yang aktif baik di PDTI maupun di Sin Ming Hui untuk membentuk panitia
ini, di antaranya Yap Thiam Hien, Auwyang Peng Koen, Liem Koen Seng, dan Gouw
Giok Song.[11]
Salah satu organisasi Tionghoa terkenal yang lahir pada masa
ini adalah Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki
yang didirikan pada tahun 1954 merupakan organisasi sosial politik yang dapat
diterima oleh berbagai kalangan orang Tionghoa, baik Totok maupun Peranakan.
Masalah yang dihadapi para tokoh Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok
Tjhan (Siauw) pada masa itu adalah diskriminasi rasial di berbagai bidang.[12]
Baperki ikut serta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September
1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua Pemilu ini,
Baperki memperoleh 178.887 suara untuk DPR dan 160.456 suara untuk
Konstituante, atau 70% suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah
suara sebanyak ini, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan
mendudukan Siauw sebagai wakilnya. Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh
Siauw, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien (Yap), Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei
Poo Djiang, Jan Ave, C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki
untuk golongan Indo.[13]
Setelah Kongres Baperki di Semarang pada bulan Desember 1960, Yap meninggalkan
Baperki. Keluarnya Yap dipengaruhi perdebatan perbedaan pandangan antara Yap
dengan Siauw salah satunya adalah mengenai pasal 6 Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945 sebelum amandemen), yang menurut Yap pasal tersebut sangat
diskriminatif, namun Siauw dan yang lainnya di Baperki mencoba meredam masalah
tersebut dengan mengeyampingkan masalah tersebut. Perbedaan pandangan lainnya
antara dua tokoh tersebut adalah mengenai bagaimana integrasi seharusnya
dilaksanakan.[14] Sejarah membuktikan pendapat Yap yang
benar, karena pasal 6 tersebut telah diamandemen dalam era reformasi.
Yap tidak setuju dengan gagasan pendukung asimilasi yang menganjurkan supaya
kaum peranakan mengganti namanya dengan Indonesia asli. Menurut Yap penggantian
nama itu bernada paksaan dan pada akhirnya tidak akan mencapai tujuan
asimilasi. Asimilasi kedalam kelompok yang dominan oleh kelompok minoritas
tidak mungkin dapat tercapai jika hanya kelompok minoritas yang menginginkan
hal tersebut sedangkan kelompok yang dominan menolaknya.[15]
Menurut Yap, hak semua orang dari suku apa saja untuk diakui dan dihormati
identitasnya (amalgamasi). Orang atau golongan tidak boleh dihilangkan (secara
harfiah atau kiasan) karena kurang disukai golongan lain dengan alasan apa pun.
Penghapusan perbedaan antara mayoritas dengan minoritas adalah dengan
integrasi, penerimaan semua golongan di Indonesia dengan penilaian yang sama
sebagai manusia dan warga negara, tanpa melihat perbedaan ras, kebudayaan atau
agama.[16] Setelah tragedi 30 September 1965,
Baperki dibubarkan oleh Orde Baru karena dituduh sebagai onderbouw Partai Komunis
Indonesia. Sejumlah aktivisnya, seperti Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan
ke penjara tanpa pernah diadili.[17]
Perbedaan fundamental antara Baperki
dan THHK terletak pada program kerjanya. THHK, seperti banyak organisasi
Tionghoa lainnya, menitikberatkan program pendidikan dan sosial. Sedangkan
Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang mengutamakan perjuangan
politik dalam mencapai tujuan ekonomi, sosial, kebudayaan dan pendidikan.[18]
Melihat pada fakta diatas, organisasi sosial-politik Tionghoa
tidak ada satupun yang dapat bertahan lama. Selain akibat benturan dengan
kebijakan politik pemerintah yang berkuasa pada masanya, satu hal yang tidak
dapat dilupakan adalah selalu terjadi perpecahan di dalam organisasi
sosial-politik yang dibentuk orang Tionghoa. Kenyataan ini yang perlu disadari
oleh semua orang Tionghoa.[19]
C.
Masa Orde Baru
Pada masa ini, rezim Orde Baru
mempraktekan kembali politik devide
et impera hasil bentukan pemerintahan Kolonial Belanda dengan
menciptakan pengkotak-kotakan dalam kehidupan bangsa Indonesia, misalnya
perbedaan antara Jawa dan non Jawa, muslim dan non muslim, militer dan sipil,
mayoritas dan minoritas, pribumi dan non pribumi, Indonesia Barat dan Indonesia
Timur, dan seterusnya. Untuk mendiskriminasikan etnis Tionghoa di Indonesia
rezim Orde Baru menggunakan hukum sebagai alatnya. Secara sistematis dan
konsisten, rejim Orde Baru telah membatasi, menekan dan menghancurkan hak-hak
politik etnis Tionghoa dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif
yang sangat mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia menjadi a politis sehingga tidak
ada lagi representasi efektif etnis Tionghoa di pemerintahan maupun badan legislatif
pada waktu itu. Apalagi hal ini didukung oleh ABRI cq. Angkatan Darat yang
dalam kampanye anti komunis telah menyamakan etnis Tionghoa sebagai kelompok
yang cenderung atau bersimpati terhadap komunisme.[20]
Selain itu selama tiga puluh dua tahun
pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa diisolasi dari kegiatan politik.
Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang
berindikasi G30S/PKI termasuk tokoh, anggota dan simpatisan Baperki dan
organisasi-organisasi Tionghoa lainnya, telah menimbulkan trauma yang
berkepanjangan di kalangan masyarakat Tionghoa.[21]
Timbulnya tragedi Mei 1998
membangkitkan kesadaran etnis Tionghoa bahwa selama ini mereka secara politis
mereka tidak berdaya sama sekali. Ini terbukti setelah jatuhnya rezim
Orde Baru, berbagai kelompok peranakan Tionghoa segera membentuk partai
politik, paguyuban, perhimpunan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sebagainya,
antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (“PARTI”), Partai Bhineka
Tunggal Ika (“PBI”), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (“PSMTI”),
Perhimpunan Indonesia Tionghoa (“INTI”), Solidaritas Nusa Bangsa (“SNB”),
Gerakan Anti Diskriminasi (“GANDI”), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia Untuk
Keadilan (“SIMPATIK”) dan sebagainya. Namun dalam perjalanannya karena banyak
menghadapi kendala, semangat yang pada mulanya mengebu-gebu perlahan-lahan
mulai menyurut. Di samping itu seperti juga yang terjadi pada partai-partai
politik dan organisasi nasional lainnya, perpecahan telah menjadi mode yang
menimpa partai-partai politik dan organisasi-organisasi di kalangan etnis
Tionghoa.[22] Tiga dari sekian banyak organisasi dan
partai politik bentukan etnis Tionghoa yang masih bertahan hingga saat ini
adalah INTI, PSMTI dan PARTI.
Pada masa Orde Baru ini, etnis
Tionghoa selalu berusaha menghindari wilayah politik, seolah-olah politik
adalah sesuatu yang menakutkan. Memang oleh rezim Orde Baru, peluang etnis
Tionghoa untuk terjun ke wilayah politik sangat dibatasi. Oleh karena itu
mereka tidak menyadari bahwa tanpa turut berpartisipasi di wilayah politik,
sebesar apapun kekuatan mereka di bidang ekonomi, akan dengan mudah dibuat
tidak berdaya.
D.
Organisasi Tionghoa Dalam Era Reformasi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
(“UUK 2006”)
Republik Indonesia yang dikeluarkan pada era reformasi ini semakin memperjelas
status etnis Tionghoa dalam kebangsaan Indonesia. Lewat UUK 2006, etnis
Tionghoa diakui sebagai pribadi yang berkebangsaan Indonesia tanpa memandang
suku maupun etnisitasnya. Melalui UUK 2006, kemajemukan bangsa Indonesia
dihargai dan bahkan diakui oleh pemerintah sebagai ciri yang utama.
Namun demikian, apakah UUK 2006 dapat dengan serta merta
menyelesaikan permasalahan kewarganegaraan di Indonesia? Jawabannya tentu saja
tidak, oleh karena masalah kewarganegaraan adalah permasalahan yang sangat
kompleks sehingga penyelesaiannya pun membutuhkan proses dan waktu yang
panjang. Masih perlu dibentuk peraturan pelaksana dari UUK 2006 tersebut.
Selain itu, perlu juga dilakukan sosialisasi di tingkat birokrasi dan
masyarakat, oleh karena birokrasi cenderung bersifat korup dan masyarakat
cenderung apatis dan menghalalkan segala cara agar setiap urusan yang berkaitan
dengan birokrasi dapat diselesaikan dengan cepat dan mudah. Hal ini merupakan
hambatan yang cukup serius untuk mengatasi masalah kewarganegaraan (khususnya
etnis Tionghoa) di Indonesia.
Pasca reformasi 1998, Mely Tan mencatat beberapa sikap
politis kaum Tionghoa dalam menghadapi masalah kewarganegaraan, antara lain:[23]
1.
Sebagian besar akan tetap bekerja dengan tenang, acuh tak acuh, tanpa
partisipasi politis apapun, kecuali hanya berharap dan berdoa agar keluarganya
tidak diganggu.
2.
Sebagian yang lain menolak sikap pasrah. Mereka beranggapan bahwa keturunan
Tionghoa sama seperti warga negara yang lain harus aktif berpartisipasi
langsung dalam politik dan ikut mengambil bagian dalam proses pengambilan
keputusan terutama di lembaga legislatif.
3.
Kelompok ketiga adalah mereka yang merasa lebih membutuhkan kelompok pendukung
yang disebut “paguyuban” demi saling menopang diantara teman senasib.
4.
Kelompok keempat yaitu mereka yang bergabung dengan atau memberi suara kepada
parpol yang sudah ada, ataupun yang baru dibentuk yang akan memperjuangkan
kepentingan mereka.
Etnis Tionghoa yang memilih untuk
bergabung demi memperjuangkan kepentingan mereka pada akhirnya kembali
mengaktifkan kegiatan mereka dalam organisasi Tionghoa yang telah “mati suri”
akibat tekanan dari rezim orde baru. Selama 32 tahun Indonesia di bawah
pemerintahan Orde Baru, kegiatan dan perkembangan dari organisasi Tionghoa
relatif terhenti, tidak terdapat kegiatan sosial, pembangunan sekolah, rumah
ibadah dengan motivasi sosial praktis tidak nampak. Setelah reformasi 1998,
pemerintah memberikan peluang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk
berserikat dan menyatakan pendapat. Peluang ini ternyata dimanfaatkan
dengan baik oleh warga negara Indonesia, oleh karena dewasa ini dapat dilihat
adanya puluhan partai politik dan ribuan organisasi kemasyarakatan dengan berbagai
tujuan dan aktifitasnya.
Peluang ini pun dimanfaatkan oleh
etnis Tionghoa di Indonesia yang dengan segera mendeklarasikan pendirian
organisasi Tionghoa, antara lain PARTI, PBI, SNB, SIMPATIK, GANDI, PSMTI dan
INTI. Sejalan dengan itu, berbagai penerbitan seperti harian, tabloid dan
majalah, antara lain Naga Pos, Glodok Standard, Suar, Nurani, Sinergi, Suara
Baru serta sejumlah lainnya bermunculan. Dewasa ini, organisasi Tionghoa
memiliki fungsi yang berbeda-beda, diantaranya:[24]
1.
Partai politik seperti
Partai Reformasi Tionghoa, dan Partai Bhinneka Indonesia yang mempunyai tujuan
untuk memperoleh kekuasaan baik eksekutif (pemerintah), maupun legislatif
(Dewan Perwakilan Rakyat).
2.
Organisasi yang
berdasarkan kebangsaan, organisasi ini mempunyai tujuan, aspirasi kebangsaan,
terbuka untuk semua suku Warga Negara Indonesia.
3.
Organisasi yang
berdasarkan ikatan sebagai suku Tionghoa yang merasa senasib dan sepenanggungan,
ingin memperjuangkan nasib sebagai orang Tionghoa Bangsa Indonesia (PSMTI).
4.
Organisasi yang
berdasarkan kesamaan sub etnis (Hakka, Hokian, Konghu dan lain-lain), marga
(Lim, Tan, Oey dan lain-lain), asal kampung (Meizou, Taipu, Nan An dan
lain-lain). Organisasi ini bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya sesuai
ikatan tersebut.
5.
Organisasi yang
berdasarkan kesamaan agama (Matakin, Walubi, Paguyuban Tao Indonesia dan lain
lain), tujuan organisasi ini adalah untuk peningkatan penghayatan keagamaan
umatnya masing-masing.
6.
Organisasi berdasarkan
kesamaan alumni sekolah dengan tujuan biasanya memperhatikan guru-guru yang
sudah tua, penyiapan beasiswa, membangun sekolah dan kegiatan lain yang
berkaitan dengan pendidikan.
7.
Organisasi yang
berdasarkan kesamaan kegiatan seperti, bantuan bencana alam, perkumpulan paduan
suara, olahraga, penggemar lukisan, pelawatan, kedukaan, pendidikan, dan
lain-lain.
E.
Berkembangnya
perekonomian Republik Rakyat Tiongkok (“RRT“) dan semakin eratnya hubungan
persahabatan Pemerintah RI dan RRT.
Dengan liberalisasi
perekonomiannya, lompatan besar RRT terbukti berhasil hanya dalam tempo sekitar
tiga dasawarsa. Pertumbuhan ekonominya kini tercatat paling tinggi di dunia,
ditambah surplus perdagangan yang luar biasa. Investasi asing mengalir deras.
Dengan rakyat sekitar 1,3 miliar atau 20% dari penduduk dunia, ditambah ongkos
tenaga kerja yang murah, RRT merupakan pasar yang sangat menggiurkan. China is the hottest business and
investment story on the planet, demikian majalah Time dalam suatu
artikelnya dua tahun lalu. Ungkapan tersebut kini semakin nyata.[25]
Peningkatan pertumbuhan ekonomi RRT pada akhirnya mempengaruhi tatanan ekonomi
global. Menurut Biro Statistik RRT pada 19 April 2007, di triwulan pertama 2007
ekonomi RRT tumbuh 11,1 %, dengan cadangan devisa mencapai 1.2 trilliun dollar
AS.[26] Selain itu surplus
perdagangan RRT pada bulan Mei 2007 mencapai 22,45 miliar dolar AS, atau naik
73 % dibanding tahun sebelumnya dan tertinggi kedua setelah surplus pada bulan
Februari yang mencapai 23,7 miliar dolar AS.[27]
Melihat perkembangan ekonomi RRT, maka
wajar negara-negara di Asia berlomba melakukan kerja sama dengan RRT, tidak
terkecuali Indonesia. Hubungan Indonesia-RRT sudah dimulai berabad-abad yang
lalu. Hubungan di antara kedua negara mengalami pasang surut akibat perbedaan
politik kedua negara. Khusus mengenai hubungan dagang antara Indonesia dan RRT,
pernah tidak ada hubungan langsung. Perdagangan dijalankan melalui Hongkong.
Setelah RRT membuka diri dalam perdagangan internasional dan RRT tidak menutup
diri sebagai negara Tirai Bambu lagi, berangsur-angsur terjadi perdagangan
terbuka dan langsung.[28]
Hubungan Indonesia dengan RRT mencapai momentum melalui penandatanganan Joint Declaration between the Republic
of Indonesia and the People’s Republic of China on Strategic Partnership
oleh kedua Kepala Negara pada tanggal 25 April 2005 di Jakarta. Pada tahun
tersebut juga bertepatan dengan ulang tahun ke-55 hubungan diplomatik kedua
negara yang dijalin sejak 13 April 1950. Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis
RI-RRT meliputi berbagai kerjasama di sektor-sektor politik dan keamanan,
ekonomi dan pembangunan, sosial budaya dan lain-lain. Selama ini,
berbagai macam kegiatan telah diupayakan sebagai bentuk tindak lanjut dari
Deklarasi tersebut. Salah satunya adalah Mekanisme Dialog Tingkat
Menko-State Councilor, yang pertama diselenggarakan pada bulan September 2006.
Dalam pertemuan Dialog dimaksud, telah dibahas berbagai isu terkait dengan
hubungan bilateral Indonesia dengan RRT dari sudut pandang makro dan
strategis. Selain itu, telah pula disepakati untuk segera membentuk Plan of Action (PoA)
sebagai acuan dalam mengimplementasikan Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis
RI-RRT, yang akan dikoordinasikan oleh kementerian luar negeri kedua negara.[29]
Selama tahun-tahun terakhir ini, kerjasama perdagangan RRT dan Indonesia
mengalami peningkatan. Menurut Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu, nilai
perdagangan Indonesia dan Tiongkok tahun lalu mencapai 15 miliar dolar AS,
pemimpin kedua negara sudah mencapai kesepakatan untuk meningkatkan nilai
perdagangan kedua negara sampai 30 miliar dolar AS pada tahun 2010.[30]
Timbulnya RRT sebagai suatu negara yang mempunyai kekuatan ekonomi yang kuat
dan menjadi salah satu negara ”super
power”, tentunya akan membawa keuntungan bagi para pihak yang baik
secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan Pemerintah RRT.
Kondisi tersebut dapat menjadi semacam suatu ”godaan” bagi organisasi Tionghoa
di Indonesia untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan Pemerintah RRT,
bahkan yang lebih dikhawatirkan apabila faham organisasi Tionghoa yang selama
ini berfaham kebangsaan sebagai Bangsa Indonesia mulai pupus.[31]
Ada beberapa hal yang patut dicermati
etnis Tionghoa khususnya organisasi Tionghoa, diantaranya adalah kebijakan RRT
dalam mendukung kepentingan nasional negaranya, dan sikap etnis Tionghoa dalam
merespon kondisi baik saat ini.[32]
RRT dikatakan sedang menjalani kebijakan soft
power, yaitu menggunakan pendekatan ekonomi dan budaya dalam
berhubungan dengan negara lain untuk melayani kepentingan nasionalnya sendiri.
Termasuk di dalamnya konsekuensi kebijakan untuk menjalin politik bertetangga
dan bersahabat baik dengan semua negara di dunia. Hal ini juga mempengaruhi
kebijakannya terhadap warga Overseas
Chinese,[33]
yaitu warga keturunan Tiongkok yang tersebar dan menetap di negara-negara lain
di seluruh dunia, dimana Tiongkok menganjurkan kepada warga Overseas Chinese untuk
menjadi warga negara yang baik di negara masing-masing yang taat hukum,
memajukan pendidikan, membangun ekonomi, membawa harmonisasi sosial masyarakat
dan diharapkan menjadi jembatan antara Tiongkok dengan negara masing-masing.[34]
Bila kita melihat sejenak ke masa
lalu, hal ini juga pernah diterapkan Perdana Menteri Chou En Lai
saat penandatanganan penyelesaian masalah dwikewarganegaraan tahun 1955 di
Indonesia. Baru 6 tahun semenjak kemerdekaannya, Tiongkok berada dalam situasi
terdesak karena tidak banyak negara yang mau mengakui keberadaannya. Sebelumnya
karena Tiongkok menerapkan azas ius sanguinis kepada semua warga negaranya
-dimana siapapun yang mempunyai ikatan nenek moyang dengan warga Tiongkok di
seluruh dunia diakui sebagai warga negara Tiongkok- banyak negara yang curiga
bahwa warga negara keturunan Tiongkok yang tinggal di negara-negara lain akan
dijadikan kaki tangan demi kepentingan luar negeri Tiongkok. Sehubungan dengan
munculnya negara-negara di Asia yang merdeka setelah perang dunia kedua, dimana
sistem ketatanegaraan dan politiknya masih mengikuti pola negara penjajah, maka
kedudukan Overseas Chinese di
negara-negara Asia Tenggara praktis bermasalah. Termasuk di Indonesia.
Dalam hal ini organisasi Tionghoa, seyogianya tetap menunjukkan sikap
nasionalismenya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia dengan tidak mengurangi
kecintaannya kepada Tanah Air Indonesia dan mengusahakan hidup harmonis dengan
segenap rakyat Indonesia dalam usaha bersama meningkatkan taraf hidup rakyat
Indonesia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chou En Lai, yang pada tahun 1955
menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RRT. Chou En Lai dalam musyawarah dengan
wakil-wakil peranakan Tionghoa di Jakarta pada tahun 1955, menganjurkan supaya Huakiao mentaati segala
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan mengusahakan hidup harmonis
dengan segenap rakyat Indonesia dalam usaha bersama meningkatkan taraf hidup
rakyat Indonesia. [35]
F.
Peranan Organisasi Tionghoa Dalam
Menghadapi Globalisasi
Kata globalisasi diambil dari kata
”global”, yang maknanya ialah universal. Globalisasi adalah konsep yang
bersifat multidimensi, dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Namun pada
intinya, globalisasi dimaknai dalam pengertian hilangnya batas-batas negara, atau
menurut Kenichi Ohmae disebut sebagai borderless
world. Globalisasi memungkinkan umat manusia yang berasal dari
berbagai negara dengan kebangsaan yang berbeda dapat saling berhubungan satu
sama lain dengan intensitas dan kedekatan yang tinggi (highly intensity and close proximity),
baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dunia dalam rangka
globalisasi dilihat sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh atau universal,
tanpa memperdulikan perbedaan-perbedaan yang melekat pada diri manusia sebagai
kesatuan yang terbagi-bagi berdasarkan jenis kulit (race), suku (ethnic) dan kebangsaan (nation).[36]
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin
berkembangnya fenomena globalisasi di dunia:[37]
1.
Perubahan
dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon
genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa
komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa
semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang
berbeda.
2.
Pasar
dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi
saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional,
peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade
Organization (WTO).
3.
Peningkatan
interaksi kultural melalui perkembangan media massa
(terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga
internasional). saat ini, kita dapat mengkonsumsi dan mengalami gagasan dan
pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya
dalam bidang fashion,
literatur, dan makanan.
4.
Meningkatnya
masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Dengan hilangnya batas
negara dan adanya WTO dimana Indonesia adalah salah satu anggota dari WTO dan telah meratifikasi Persetujuan
Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994. WTO didirikan dengan salah satu
tujuannya adalah untuk mengurangi dan menghapus halangan-halangan yang dapat
menghambat kelancaran arus perdagangan barang dan jasa, terlebih dengan
gencarnya perdagangan bebas, liberalisasi perdagangan, atau perdagangan global,
maka batasan-batasan mengenai pengusaha asing dan lokal semakin kabur karena
hilangnya batas-batas negara. Namun sangat disayangkan pada apa yang masih
terjadi di Indonesia saat ini dimana masih terdapat pembedaan-pembedaan
terhadap latar belakang pelaku usaha walaupun UUK 2006 sudah menghapus adanya
istilah-istilah pembedaan ini dengan merubah perspektif “bangsa Indonesia asli” yang
dahulu lebih berperspektif etnik telah beralih kepada perspektif yuridis. Hal ini
terlihat dari masih digunakannya istilah pengusaha pribumi dan pengusaha non
pribumi oleh pihak-pihak tertentu, yang mana salah satunya diucapkan oleh wakil
presiden RI, Jusuf Kalla dalam suatu pertemuan bilateral.[38]
Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pola pikir yang mendiskriminasi dari
sebagian orang.
Melihat kejadian tersebut,
disini diperlukan peran organisasi
Tionghoa untuk membimbing anggotanya tetap setia kepada Republik Indonesia dan
tidak silau dengan kesuksesan RRT. Selain itu organisasi Tionghoa dalam masa
reformasi dan menghadapi globalisasi tidak boleh “kebablasan” dalam mengartikan
kebebasan. Menghormati budaya leluhur dan menerapkan budaya serta bahasa
Tionghoa bukan merupakan hal yang salah. Akan tetapi sebagai Warga Negara Indonesia,
etnis Tionghoa dan khususnya organisasi Tionghoa tetap harus menjunjung
nilai-nilai yang ada di Indonesia, seperti menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa utama. Dengan cara ini, maka etnis Tionghoa tidak akan di”cap” menuntut
“keistimewaan” seperti yang pernah diungkapkan mantan Menteri Kehakiman dan
HAM, dan mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra pada saat
ditanya pendapatnya mengenai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
(SBKRI), "Karena itu
kepada siapa pun termasuk mereka keturunan Cina ditanya, kenapa mereka
keberatan, orang pribumi saja ditanya, masak mereka ngga mau ditanya,".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar